Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran
Charles S. Pierce dan William James.
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap
antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis.
Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai
berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia
mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan
berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam
lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi
problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya
fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi
problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya,
pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya,
walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum
muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya
benar-benar mewujud.
Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat
naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan
lingkungannya”. Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey
sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali
kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris
dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan.
Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan
undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey
tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda
material. John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James.
Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu,
maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan
intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey
menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak
menggunakan pendekatan biologis. Meskipun
berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut
garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
KONSEP DEWEY TENTANG DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN
Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan
sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyrakat. Pendidikan
dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan
hidup dimasa depan. Pendidikan nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya
mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang (out of date) dan hanya
mengulang-ngulang sesuatu yang sudah lampau, yang sebenarnya tidak layak lagi
diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian hanya mengebiri
intelektualitas anak didik. Dalam bukunya Democracy and Education (1961), Dewey
menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif and progresif bagi perkembangan
masa depan. “Dewey
elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned
after it so that when children graduate from school they will be properly
adjusted to asumse their place in sociaty.”
Kutiapan diatas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan
harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada
lingkungan sosialnya. Sehingga, apabila anak didik telah lulus dari lembaga
sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakat. Untuk merealisasikan
konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran.
Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada
berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi
kebebasam sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslah-masalah tersebut sesuai
dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru
bukan hanya satu-satunya sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya membantu
siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadainya. Dengan metode semacam ini,
dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya
pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukan oleh metode andragogy
yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik. Kedua, learning by doing,
konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan
dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam
masyarakat bila telah selesai menyelesaikan pendidikannya. Maka, mereka
dibekali keterampilan-keterampilan prkatis sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sosialnya.
Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa pendidikan
progresif menurut John Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta
didik agar bisa menyesuaikan, berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat.
John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem
solving method dan learning by doing. Metode problem solving method lebih
menekankan tantangan dan kebebasan kepada peserta didik, dan guru bukan
satu-stunya yang menjadi sumber. Metode learning by doing peserta didik
dituntut agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Selain dituntut,
peserta didik juga dibekali beberapa materi atau keterampilan agar mereka
ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat menyesuaikan dengan
lingkungannya maupun masyarakatnya.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat
terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu
kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan
hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah
dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia
menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang
harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial
politik. Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar
menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya
untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi
bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang mengungkapkan
bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan
bahwa sekolah merupakan suatu kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang
menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar
(mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus
dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain
dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia
dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna
mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan
kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu
sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi
bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi.
Secara implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan
memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
Daftar Pustaka
1. Dewey, John, Experience and Education, terj. Ireine V.
Pontoh, (Indonesia Publishing, 2009)
2. Maksum, Ali, Pengantar Filsafat , Cetakan Keenam, ( Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012)
0 komentar:
Posting Komentar