Selasa, 29 November 2016

TUJUAN DAN MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT

18.48 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments

TUJUAN DAN MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT

A.      Tujuan Filsafat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan, dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik.
Secara umum tujuan pendidikan dapat dikatakan dapat membawa anak ke arah tingkat kedewasaan, artinya membawa anak didik agar dapat berdiri sendiri (mandiri) dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat.
Ada empat macam tujuan pendidikan yang tingkatan dan  luasnya berlainan, yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.

a.       Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional yaitu membangun kualitas yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila yang mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dan dapat mengembangkan dan menyuburkan tingkat demokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetika, sanggup membangun diri dan masyarakat.

b.      Tujuan Institusional
Tujuan institusional adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.

c.       Tujuan Kurikuler
Tujuan Kurikuler yaitu untuk mencapai pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga, yang sebenarnya merupakan tujuan institusional dari bagan pendidikan tersebut.

d.      Tujuan instruksional
Tujuan instruksional adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh siswa dan anak didik sesudah melewati kegiatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil.

Tujuan filsafat pendidikan yang lainnya, yaitu :
1.     Dengan berfikir filsafat seseorang bisa menjadi manusia, lebih mendidik, dan membangun diri sendiri.
2.      Seseorang dapat menjadi orang yang dapat berfikir sendiri.
3.    Memberikan dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis pula sehingga seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan.
4.      Hidup seseorang dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut, sebab itu mengetahui pengetahuan-pengetahuan terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup diri sendiri.
5.      Bagi seorang pendidik, filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafatlah yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mengenai manusia, seperti misalnya ilmu mendidik.
Tujuan filsafat pendidikan juga dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat pendidikan yang dapat mengembangkan pendidikan itu sendiri, yaitu :
a.       Idealisme
b.      Realisme
c.       Pragmatisme   
d.      Humanisme
e.       Behaviorisme
f.       Konstruktivisme

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika (hakikat keaslian).

B.       Manfaat Mempelajari Filsafat
Manfaat mempelajari filsafat ada bermacam-macam, namun sekurang-kurangnya ada 4 macam faedah, yaitu :
1.        Agar terlatih berpikir serius
2.        Agar mampu memahami filsafat
3.        Agar mungkin menjadi filsafat
4.        Agar menjadi warga negara yang baik
 Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius. Plato menghendaki kepala negara seharusnya filosuf. Belajar filsafat merupakan salah satu bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan memecahkan masalah secara serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, dan menemukan sebab terakhir satu penampakkan.
Dari uraian di atas, secara konkrit manfaat mempelajari filsafat adalah:
1.        Filsafat menolong mendidik.
  2.        Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
3.        Filsafat memberikan pandangan yang luas.
4.        Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri.
  5.        Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.

Daftar Pustaka :
Indar, Djumbersyah. 1994.  Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abditama.
Prasetya.1997. Filsafat Pendidikan.Bandung: CV Pustaka Setia.

MATERIALISME DAN PENDIDIKAN

00.44 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural. Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
Ciri-ciri filsafat materialisme
a.       Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi
b.      Tidak meyakini adanya alam ghaib
c.       Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
d.      Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
e.       Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.
prinsip materialisme yang didasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas yaitu :
a.       Apa yang dikatakan jiwa ( mind ) dan segala kegiatannya ( berfikir, memahami ) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat saraf, atau organ-organ jasmani yang lainnya.
b.      Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan.

Implikasi Aliran Filsafat Materialisme
Menurut Power (1982), implikasi aliran filsafat pendidikan materialisme, sebagai berikut:
·      Temanya yaitu manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
·      Tujuan pendidikan merupakan perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
·      Isi kurikulum pendidikan yang mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.

·      Metode, semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant condisioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetisi.
·      Kedudukan siswa tidak ada kebebasan, perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar, pelajaran sudah dirancang, siswa dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk belajar.
·      Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan, guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.

  Bentuk-Bentuk Aliran Filsafat Materialisme
Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu :
a.    Filsafat Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum dialektika: hukum saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dalam dunia semesta. Pikiran-pikiran materialisme dialektika inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.

b.   Filsafat Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini misalnya: “sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.

Hubungan Aliran  Materialisme dan Pendidikan
·      Pandangan Materialisme Mengenai Belajar Positivisme
        Materilisme maupun positivisme,pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1956). Materialisme belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan.
        Menurut Waini Rasyidin (1992),filsafat positivisme sebagai cabang dari materialism lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan.
Dikatakan positivisme,karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang mendasarkan fakta-fakta,berdasarkan data-data yang nyata,yaitu yang mereka namakan positif.

·      Pandangan Materialisme Mengenai  Belajar Behaviorisme
Menurut behaviorisme,apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik,yang merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi dalam otak,kita sebut berpikir,dihasilkan oleh peristiwa lain dalam dunia materi,baik material yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang berada diluar tubuh manusia.
Pendidikan,dalam hal ini proses belajar,merupakan proses kondisionaisasi lingkungan. Misalnya, dengan mengadakan percobaan terhadap anak yang tidak pernah takut pada kucing,akhirnya ia menjadi takut pada kucing. Menurut behaviorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh anal dan kucing diatas). 

Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Materialisme untuk Pendidikan
Jika dibandingkan dengan aliran filsafat yang lain aliran filsafat materialisme adalah aliran yang mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, terutama dalam anggapannya yang hanya meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Mereka menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya. Materialisme adalah aliran yang memandang bahwa segala sesuatu adalah relitas, dan realitas seluruhnya adalah materi belaka. Kenyataan bersifat material dipandang bahwa segala sesuatu yang hendak dikatakannya adalah berasal dari materi dan berakhir dengan materi atau berasal dari gejala yang bersangkutan dengan materi.
Kelebihannya:
·     Teori-teorinya jelas berdasarkan teori-teori pengetahuan yang sudah umum.
·     Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi,selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
·     Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi, pelajaran berprogram dan kompetensi
           Kelemahannya:
·      Dalam dunia pendidikan aliran materialisme hanya berpusat pada guru dan tidak memberikan kebebasan kepada siswanya, baginya guru yang memiliki kekuasan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa. Sedangkan siswa tidak ada kebebasan, perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar, pelajaran sudah dirancang, siswa dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk belajar.
·      Di kelas, anak didik hanya disodori setumpuk pengetahuan material, baik dalam buku-buku teks maupun proses belajar mengajar. Yang terjadi adalah proses pengayaan pengetahuan kognitif tanpa upaya internalisasi nilai. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang jauh antara apa yang diajarkan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehar-hari anak didik. Pendidikan agama menjadi tumpul, tidak mampu mengubah sikap-perilaku mereka.


 Daftar Pustaka 


Uyoh Saduloh,2006 Pengantar filsafat pendidikan: Alfabeta Publishing:Bandung

Senin, 28 November 2016

KONSTRUKTIVISME DAN PENDIDIKAN

19.23 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments
Hakekat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
            Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
1.      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2.      Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
6.      Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
C.    Pengaruh Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
1.      Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
2.      Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
3.      Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
4.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
5.      Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
6.      Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternatif. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.
Implementasi Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar konstruktivistik. Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat pembandingan dengan teori belajar yang lain, yang memang sangat bertolak belakang. Teori belajar pembandingnya adalah teori behavioristik. Teori ini dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang dipaparkan di sini. Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Kaum behavioristik meyakini bahwa perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan nilai-nilai yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai.
Model pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan paham behavioristik. Secara sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J. Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru) dan terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2008). Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. Dengan melihat perbedaan keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih jelas untuk dipahami.
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi. Peserta didik memiliki pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut,  peserta didik bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang peserta didik. 4) Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan peserta didik. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses .
Berkaitan dengan pembelajaran matematika, pembelajaran matematika beracuan kontruktivisme adalah pembelajaran yang melibatkan siswa aktif belajar memahami dan membangun pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam proses membangun pengetahuan matematika, siswa berinteraksi dengan lingkungan dan dihadapkan dengan informasi baru, informasi baru tersebut oleh kognisi siswa diserap melalui adaptasi. Sehingga aturan-aturan lama dapat dimodifikasi atau siswa membentuk aturan-aturan baru dalam benaknya.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalam menciptakan peserta didik yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pembelajar.

Daftar Pustaka:
Suparno, Paul. 2008.FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN. Yogyakarya : Kanisius.

CARA MEMPELAJARI FILSAFAT

05.58 Posted by TyasSiti Nur Asiyah , No comments
Cara Mempelajari Filsafat
Isi filsafat ialah buah pikiran filosif. Bagaimana cara mempelajarinya?. Pertama sekali perlu kiranya diketahui bahwa isi filsafat amat luas. Luasnya itudisebabkan pertama oleh luasnya obyek penelitian (obyek materia) filsafat, yaitu segala yang ada dan mungkin ada. Sebab lain ialah filsafat adalah cabangpengetahuan yang tertua. Dan sebab ketiga adalah pendapat filosof tidak ada yang tidak layak dipelajari, tidak ada filsafat yang ketinggalan zaman.
Ada tiga macam metode mempelajari filsafat:
  1. Metode Sistematis.
Metode sistematis berarti pelajar menghadapi karya filsafat.Misalnya mula-mula pelajar menghadapi teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat. Tatkala membahas setiap cabangatau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas. Dengan belajar filsafat melalui metode ini perhatian kita terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada periode.
  1. Metode Historis
Metode historis digunakan bila para pelajar mempelajari filsafadengan cara mengikuti sejarahnya, jadi sejarah pemikiran. Ini dapat dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah,misalnya dimulai dari membicarakan filsafat Thales, membicarakan riwayathidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupundalam teori.


  1. Metode Kriris
Metode kriris digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Pelajar haruslah sedikit-banyak telah memiliki pengetahuan filsafat. Pelajaran filsafat pada tingkat sekolah pascasarjana sebaiknya menggunakan metode ini. Di sini pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematisataupun historis. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajarmencoba mengajukan kritiknya. Kritik itu mungkin dalam bentuk menentang,dapat juga berupa dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang dipelajari. Ia mengkritik mungkin dengan menggunakan pendapatnya sendiri ataupun dengan menggunakan pendapat filosof lain.
Dalam belajar filsafat ada aturan yang disarankan untuk diterapkan sejak awal, hukum itu berbunyi:
“…apa arti gagasan-gagasan mereka untuk para filsuf itu sendiri, apa nilai gagasan-gagasan itu dalam diri sendiri dan apa nilainya bagi kita: itulah ketiga pertanyaaan yang senantiasa harus diajukan orang dalam menyelidiki sejarah filsafat, meskipun secara didaktis atau eksplisit tidak selalu mungkin atau tidak selalu perlu diajukan secara terpisah…”
Lewat cara ini, semua murid dianjurkan secara bebas untuk mengaitkan seluruh pemikiran dengan kondisi dirinya, dengan kesadaran dan hasratnya yang murni. Pada titik ini, ungkapan Wittgenstein, “Filsafat bukan ajaran melainkan suatu usaha” menjadi terasa. Filsafat bukan ajaran karena itu kita tak langsung harus percaya dan membelanya mati-matian, filsafat adalah usaha untuk menemukan kebenaran berdasarkan diri sendiri setalah bercermin dari kebenaran yang telah teruji.

Daftar Pustaka : 
Ali Saifullah, 1997, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional